Sabtu, 17 Oktober 2015

Roman Modern Bernuansa Dongeng


Judul Buku : London-Angel
Pengarang : Windry Ramadhina
Genre : Lokal, pengarang Indonesia
Penerbit : Gagas Media, 2013
Halaman : 327
Periode baca : Awal April 2015 sekitar satu minggu (tanggalnya lupa)
Rating Goodread : 3,7

"...Lima hari yang lalu, aku datang dengan semangat luar biasa, dengan gairah mengejar cinta membara seperti api besar yang tengah melahap kayu di dasar perapian. Kini, aku lelah dan kehilangan asa. Kota ini telah mengikis habis harapanku lewat hujan yang turun hampir setiap waktu....." (London - Prolog, hal. 4)

London adalah salah satu novel dalam seri novel 'Setiap Tempat Punya Cerita' yang dikeluarkan oleh Gagas Media. Saya tertarik memilih novel ini karena kebetulan saya tahu pengarangnya. Kami dulu pernah tergabung dalam satu komunitas penulisKemudian.com dan saya juga mengikuti perkembangan tulisan dan membaca novel-novel Windry sejak judul pertama, Orange. Dari tema seri novel yang disebutkan, sudah bisa tertebak kalau novel-novel ini berkisah tentang banyak hal dalam seting yang berbeda. London adalah salah satu kota favorit saya (meski saya belum pernah ke sana) sehingga hal tersebut saya jadikan sebagai alasan berikutnya memilih novel ini.

Read More..

Selasa, 17 Agustus 2010

Gugatan Rasial Yang Tidak Menyudutkan




Judul buku : Dimsum Terakhir
Penulis : Clara Ng
Penerbit : PT Gramedia Pustaka utama
Halaman : 361

Clara Ng adalah salah satu penulis novel yang saya kagumi cara bertutur dan ide ceritanya. Ringan, pop, mengalir namun bermakna. Membuat manggut-manggut selesai membaca, antara menikmati bacaan yang tidak perlu banyak menguras otak sekaligus mendapatkan pesan dan kesan yang tidak ala kadarnya. Sebuah kombinasi yang jarang di dapat dari novel-novel aliran pop Indonesia. Sejumlah media menyebutkan bahwa karya-karya Clara Ng mampu menghilangkan batas antara populer dan sastra. Saya rasa mayoritas karakter pembaca pun akan menyetujuinya (termasuk saya). Bila mencari sesuatu yang ringan tapi bermakna, Clara Ng bisa menjadi salah satu pilihan.

Dimsum Terakhir bisa dianggap sebagai salah satu karya Clara Ng yang banyak menghasilkan komentar positif dari sejumlah review-er. Tema kisah yang diangkap cukup riskan, yaitu mengenai kehidupan keluarga keturunan dan pergaulan bebas. Kelebihannya, Clara Ng berhasil menyulap topik tersebut menjadi sebuah cerita drama kelaurga yang manis mengharukan tanpa kesan menggurui atau menyalahkan banyak pihak.

Dimsum Terakhir bercerita tentang keluarga nung Antasana, warga asli Tionghoa yang masih kuat memegang adat budaya keluar, yang memiliki empat putri kembar, yaitu Siska (digambarkan sebagai wanita karier yang mandiri dan modern), Indah (novelist yang berkepribadian serius dan teguh memegang prinsip-prinsipnya), Rosi/Roni (seorang lesbian yang kemudian memutuskan untuk menjadi laki-laki) dan Novera (perempuan dengan karakter pendiam, kalem dan tidak menonjol). Keempat putri Nung yang sudah hidup mandiri dan terpisah dari ayahnya dipaksa untuk kembali berkumpul ketika mendengar ayahnya jatuh sakit dan diperkirakan masanya tinggal sedikit lagi. Dimulailah kisah yang menuntut keempat perempuan dewasa itu kembali memahami arti sebuah ikatan keluarga dan kejujuran.

Gaya bahasa dan karakterisasi seorang Clara NG atas cerita dan tokohnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Kembar empat putri Nung dijalankan dnegan sangat manis sesuai dengan pribadi mereka masing-masing yang unik dan khas. Siska dengan keberaniannya bersikap dan berbicara, Indah denagn segala prinsipnya, Rosi dengan keriangan dan kecuekannya serta Novera denagn ketidakmenonjolannya terjalin manis saling melengkapi dan enak untuk dinikmati.

Hal positif lain yang bsia saya rasakan dari novel ini adalah mengenai bagaimana penulisnya mencoba menyentil sejumlah masalah-masalah dan penilaian sosial yang berhubungan dengan rasial dan norma budaya yangd engan manis segera diakhiri dengan sebuah komentar atau ending yang tidak bermaksud menyalahkan atau menggurui. Semua ilustrasi digambarkan dengan lugas sebagai sebuah fenomena hidup yang bsia dipelajari oleh pihak manapun tanpa ada yang merasa disudutkan.
Contoh kecil, saat penulis menggambarkan bagaimana Nung menjadi salah satu korban kerusuhan ras pada Mei 1998. tanpa melebih-lebihkan kondisi dan dampak kerusuhan, plot ini dengan manis ditutup dnegan sebuah penyelesaian anak-anak Nung menemukan ayah mereka sudah diselamatkan oleh seorang Haji yang baik hati. Atau saat si kembar mempermasalahkan kenapa tidak ada libur sekolah di hari Imlek, keluarga Nung dengan bijaksana membuat keputusan untuk merayakan Imlek sebelum jam sekolah.

Membaca kisah Dimsum Terakhir membuat kita tersadar ada sejumlah hal yang perlu direnungkan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kita yang begitu majemuk dnegan berbagai adat dan istiadat. Namun di lain pihak, Dimsum Terakhir ditulis tidak untuk melakukan sebuah gugatan atau protes atas kejadian-kejadian tersebut. Biarlah pembaca yang memutuskan itu bagaimana sebaiknya dan apa sebetulnya. Penulis telah melakukan tugasnya dengan baik dalam menyampaikan gambaran kehidupan tersebut tanpa menyudutkan satu pihak.

Saya memasukkan novel ini sebagai salah satu novel favorit saya.

Read More..

Adaptasi Kisah yang Manis



Judul : Moga Bunda Disayang Allah
Penulis : Tere-Liye
Penerbit: RepubliKA
Halaman : 246

Kisah hidup Hellen Keller, penulis Amerika Serikat yang mengidap buta-bisu-tuli seolah sudah menjadi legenda di seluruh dunia. Perjuangan Heller yang dibantu oleh gurunya yang bernama Anne Sullivan demi keluar dari segala keterbatasan untuk hidup dan menikmati paendidikan setara dengan mereka yang tidak memiliki keterbatasan indera telah menginspirasi jutaan manusia di dunia. Kerja keras dan nilai pantang menyerah menjadi teladan tidak hanya bagi mereka yang memiliki keterbatasan indera, namun juga mereka yang memiliki indera normal dan utuh.

Hellen Keller adalah bayi normal ketika dilahirkan. Pada usia 18 tahun dia terserang skarlatina (scarlett fever) yang lantas mematikan indera penglihatan dan pendengarannya. Hellen perlahan mulai mengalami kebisuan. Dalam dunianya yang sunyi dan gelap Hellen tumbuh menjadi liar. Orang tuanya yang yakin kecerdasan Hellen tidak berkurang beranggapan masih ada harapan untuk mendidik Hellen. Annie Sullivan, lulusan dari Parkin School for blinds (sekolah untuk orang buta) dikirim sebagai guru privatnya.

Perjuangan Annie Sullivan untuk mendidik Hellen tidak bisa dibilang mudah. Dia melalui minggu pertama dengan sebuah ”pertarungan” sengit demi membiasakan Hellen makan dengan garpu dan duduk di kursi. Hasilnya Hellen berhasil dibiasakan, namun Anne harus merelakan dua gigi depannya tanggal. Selanjutnya Anne mencoba mengajarkan bahasa isyarat dengan menuliskan simbol-simbolnya pada telapak atngan Hellen. Hellen awalnya menganggap itu sebagai permainan kombinasi huruf yang mengasyikan. Dia menghafal semua kombinasi kata namun sama sekali tidak berpikir kalau kata-kata tersebut ada wujudnya. Baru setelah Annie membawa Hellen kebawah pompa air dan mengalirkan air terus-menerus ke tangan Hellen sambil berulang kali menuliskan kata w-a-t-e-r pada telapak tangannya, gadis itu mulai mengerti kalau setiap wujud di dunia memiliki nama, dan cairan dingin menyegarkan yang kini mengaliri tangannay adalah air (water). Setelah itu Hellen memulai petualangan barunya menyingkap dunia ilmu pengetahuan dan menyambung inderanya kembali pada peradaban manusia.

Kisah hidup Hellen Keller adalah legenda abadi. Ceritanya telah banyak dituangkan dalam berbagai media. Buku biografi, komik, film, drama. Miracle of Works adalah film mengenai Hellen Keller yang paling terkenal saat ini. Cerita dan tulisan Hellen telah banyak diterjemahkan dan diadaptasikan dalam berbagai bahasa. Salah satu adaptasi kisah yang cukup manis adalah pada novel ini, Moga Bunda Disayang Allah.

Kisah novel ini dituturkan dengan manis dan mengalir melalui bahasa lugas dengan deskripsi yang menis. Menggunakan setting sebuah kota kecil di pinggir pantai, penulisnya mencoba menggambarkan perjuangan seorang gadis kecil bernama Melati yang merupakan adaptasi dari sosok Hellen Keller. Pemuda pendidik anak-anak bernama Karang dipilih sebagai sosok guru yang kemudian datang membantu Melati menemukan kembali cahaya pengetahuannya. Secara garis besar, plot cerita tidak jauh berbeda dengan kisah besar Hellen Keller, meskipun penulis mencoba membuat selingan plot kecil mengenai masa lalu dan kisah cinta Pak guru Karang dengan dokter Kinasih, atau plot mengenai sikap orang tua Melati atas Karang dan sejumlah plot kecil lain. Namun demikian, mungkin karena penggunaan bahasa yang lebih familiar dan detail cerita yang lebih manis, kisah ini jadi lebih mudah diikuti dan dipahami.

Disamping itu, deskripsi dan narasi yang dituangkan dalam buku ini juga membuat saya betah untuk menikmati lembar-demi lembar kisahnya. Walaupun di beebrapa sisi terasa klise, tapi novel ini tetap saja terasa enak untuk dibaca. Meskipun di beberapa bagian terdapat kalimat non baku yang (seolah) muncul untuk melucu, tetap saya kenikmatan membaca keseluruhan cerita ini tidak berkurang.

Novel ini termasuk salah satu yang berhasil saya selesaikan dengan singkat. Bahasanya ringan dan plotnya limayan bisa ditebak. Mungkin bagi pembaca yang berharap kisah manis mengharukan dengan plot yang orisinal dan fresh, novel ini bisa sedikit membuat kecewa. Tapi bagi mereka yang sekedar mencari bacaan ringan penggugah inspirasi, novel ini bisa dijadikan salah satu pilihan.
Read More..

Minggu, 25 Juli 2010

Dunia Antah berantah ala Cerita Silat Mandarin



Judul : Ranah Sembilan
Pengarang : dewi Sartika
Terbitan : oase & Penerbit Sembilan
Hal : 27 halaman

“Bagi Amon, kedua anak yang dipungutnya itu menyulitkan. Mereka tidak menghasilkan uang sama sekali – pastinya menghabiskan uang karena bukankah mereka juga perlu makan? -- Mereka payah, lemah, kecuali harus diakui, keduanya cantik. ………………………… “ (Ranah Sembilan – Dewi Sartika)

Pertama kali memutuskan untuk membeli buku ini adalah karena saya tertarik dengan judulnya yang unik dnegan embel-embel sederet penghargaan yang berhasil diraih oleh penulisnya. Saya pikir saya akan membaca sebuah karya sastra berbobot yang membutuhkan sedikit pemikiran untuk memahami permainan diksi dan maknanya. Sayangnya, ekspetasi saya terhadap karya ini terlalu besar, walau bukan berarti saya kecewa setelah membaca buku ini.

Ranah Sembilan bercerita tentag petualangan dua kakak beradik, Lea dan Diana, yang terlempar dari dunia masa kini ke dunia antah berantah di masa lalu (merupakan asumsi saya setelah mempertimbangkan setting dan berbagai atribut yang mirip film-film kungfu klasik). Dalam petualangan mereka menuju ranah sembilan (sebuah wilayah yang dikuasai oleh sembilan perguruan), mereka berdua bertemu dengan berbagai macam orang dan terlibat dalam pertikaian antar perguruan di ranah sembilan

Berlawanan dengan yang saya perkirakan, novel ranah Sembilan menggunakan gaya bahasa populer dalam penuturannya. Bahkan dialog non-baku muncul dalam sejumlah dialog. Plot cerita mengalir lancar bahkan cenderung cepat, seolah kita sedang disuguhi sebuah film laga. Membacanovel ini saya seperti diingatkan dengan kisah-kisah bertema laga dari negeri Tiongkok macam krangan Kho Ping Ho. Walaupun dalam novel tersebut tidak dicantumkan dnegan jelas setting apa yang digunakan penulisnya, namun deskripsi dan narasi atas situasi dan adegan bisa dibilang mengarah kesana. Apalagi keberadaan ilustrasi di setiap bab yang mengingatkan saya pada komik serial Tapak Sakti, makin menambah kental suasana.

Hal lain yang saya nikmati dari novel ini adalah karakterisasi dari tokoh-rokoh yang dipilih penulis. Walaupun cenderung terasa filmis dan komikal, saya cukup menyukai karakterisasi Amon yang pemarah dan egois, Lea yang galak, Diana yang bijak, bixi yang berkepribadian ganda, bahkan Merope yang centil. Walaupun hanya keluar sebanyak beberapa lembar, namun karakter terakhir tadi cukup membuat saya geregetan. Reaksi yang umum saya rasakan kalau sedang menikmati sebuah kemik atau film seru.

Namun demikian, ada beberapa hal yang sedikit mengganggu kenikmatan saya dalam mengikuti novel ini. Ada sejumlah plot-plot dalam novel yang memiliki ending tidak jelas bahkan cenderung tidak ada. Awalnya, saya pikir novel ini akan memakai tipikal plot kisah Perjalanan antar waktu. Sang tokoh utama terlempar ke dimensi waktu yang berbeda, terlibat petualangan di sana sambil mencari jalan untuk pulang lalu pada akhirnya pulang kembali ke masanya. Ternyata saya keliru, karena hingga akhir cerita, masalah terlempar ke dimensi waktu lain tidka lagi dibahas hingga akhir. Ending cerita justru terkesan menyimpang dari plot yang ditawarkan di bagian awal. Pembaca dibiarkan bertanya-tanya lalu setelah itu apa yang terjadi dengan mereka. Bisa jadi penulisnya memang sengaja menyimpan ending itu untuk sebuah sequel. Kalau tidak, sayang sekali penyelesaian seluruh konflik di cerita tersebut jadi terasa tidak lengkap.

Selain itu, banyaknya karakter yang muncul dengan tiba-tiba juga membuat saya menjadi sedikit bingung. Ada sejumlah karakter yang kemunculannya memang cukup konsisten dalam mendukung plot cerita, namun ada juga karakter sebetulnya memiliki posisi yang cukup penting dalam plot cerita, namun hanya muncul sedikit, sehingga pembagian role dalam plot cerita jadi terasa timpang. Selain itu, penggunaan sudut pandang orang ketiga yang bersifat omniscient, yang memungkinkan pembaca melihat pikiran semua tokoh, membuat saya jadi sedikit kehilangan fokus terhadap tokoh utama dan plot utama cerita.

Terlepas dari semua kekurangan yang saya rasakan dari novel ini, saya cukup menikmati kisah petualangannya. Terutama bagi mereka yang menyukai kisah laga tipe buku-buku Kho Ping Ho, novel ini bisa jadi salah satu koleksi yang asyik untuk dibaca.
Read More..

Sahabat Lama yang Hilang



Pengarang: Hella S. Haase
Alih Bahasa: Indira Ismail
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 144 halaman

“…Oeroeg dan aku selalu bersama dalam setiap tahap perkembangan, mulai dari kanak-kanak hingga lelaki muda. Bisa kukatakan, Oeroeg melekat pada kehidupan seperti segel cap: terlebih sekarang ini, karena setiap hubungan dan kebersamaan sudah menjadi masa lalu untuk selamanya......”

Saya selalu menyukai kisah-kisah yang bertutur tentang sejarah, atau minimal menggunakan sejarah sebagai latar belakang kisahnya. Ada keasyikan tersendiri saat pikiran ini seolah diajak berkelana ke masa lalu, membaca informasi-informasi penting (entah itu berupa dokumentasi nyata atau sekedar fiktif belaka) yang mampu memberikan sebuah gambaran mengenai masa di saat tersebut. Mungkin karena saya sendiri sangat menyukai cerita-cerita sejarah, dongeng dan sejenisnya, maka membaca tulisan-tulisan atau kisah semacam itu memberikan poin dari segi kepuasan pada diri saya pribadi.

Oeroeg bercerita tentang kisah persahabatan seorang anak belanda, putra pemilik perkebunan besar di Jawa Barat, Hindia Belanda dengan seorang anak pribumi, Oeroeg, anak dari mandor sang ayah. Cerita bergulir dalam bentuk narasi panjang yang menggambarkan kehidupan mereka dari masa kanak-kanak yang hangat, lalu masa remaja yang mulai berjarak dan akhirnya masa dewasa yang membuat mereka menyadari ternyata prinsip dan kenyataan tidak bisa diabaikan untuk menjembatani sebuah perbedaan.

Ada beberapa hal yang bisa saya rasakan dan saya simpulkan setelah membaca kisah ini. Yang pertama adalah perkembangan cara berpikir antara tokoh “aku” dan Oeroeg tampak sangat kontras. “Aku” sebagai seorang anak Belanda, tampak begitu naif ketika dia mempertanyakan (dalam hatinya) perubahan-perubahan yang terjadi pada sahabatnya. “Aku” digambarkan sebagai sosok yang tidak pernah mempermasalahkan perbedaan status dan ras di antara mereka. Dia menganggap Oeroeg sebagai temannya dan Hindia Belanda adalah tanah kelahirannya. Dia mempertanyakan mengapa banyak orang mempermasalahkan perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk orang tuanya. Bahkan hingga dia dewasa pun dia tetap tidak bermaksud untuk mempermasalahkan segala perbedaan tersebut.

Sementara Oeroeg digambarkan sebagai sosok pribumi yang keras dan cepat dewasa. Bagaimana dia selalu menjadi panutan tokoh “aku” dan pelindung tokoh "aku" saat kanak-kanak, atau bagaimana saat dia lebih cepat mengerti tentang pergaulan dewasa dibanding tokoh “aku”, termasuk juga perkembangan cara berpikir yang lebih dulu menyadari pandangan-pandangan nasionalis dan patriotik dibanding tokoh “aku”. Ada hal yang menggelitik hati saya saat membaca bagian dimana tokoh “aku” menggambarkan perubahan sikap Oeroeg remaja sebagai sebuah sikap yang terjadi pada kebanyakan remaja pribumi yang memiliki kesempatan bergaul dengan kalangan kulit putih.

“…Selama bertahun-tahun sekolah di MULO, Oeroeg kehilangan semua sifat yang di Sukabumi menunjukkan dia anak desa. Aku mendapat kesan ia berupaya keras menghapus segala sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang bisa mengingatkannya pada masa lalu. Kini ia hanya berbahasa Belanda, pakaiannya sangat kebarat-baratan. Ia tidak pernah bergaul dengan pembantu-pembantu Lida. Ia mengabaikan omongan yang berhubungan dengan masa kanak-kanak kami…”

Penuturan tersebut mengingatkan saya pada kondisi masyarakat bangsa sendiri yang mudah sekali menghilangkan jati diri hanya untuk sebuah status. Gaya hidup kebarat-baratan hasil meniru, mencibir terhadap budaya sendiri yang dianggap kuno dan konservatif, bahkan cetusan dari para generasi muda yang menyatakan betapa mereka malu terlahir sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang mereka anggap miskin, bermoral bobrok dan punya banyak masalah. Saya jadi berpikir, bahkan seorang Hella S. Haase pun sudah mengimajinasikan kondisi semacam itu dalam karya klasiknya. Miris mendengarnya. Bila pihak yang diharapkan bisa merubah kondisi ini justru mengeluarkan pernyataan apatis, skeptis dan negatif semacam itu, bagaimana bangsa ini bisa berubah? Sebuah pertanyaan lantas muncul dalam pikiran saya saat membaca kisah Oeroeg. Apakah penggambaran tentang Oeroeg, sebetulnya adalah sebuah refleksi salah karakter pribumi di masa itu?

Hella menuturkan kisah persahabatan dua orang yang berbeda tersebut secara manis dan mengalun. Gaya feminim terasa sekali dalam setiap penuturannya. Sudut pandang yang diambil adalah terbatas dari sudut pandang tokoh “Aku” pembaca seolah diajak untuk ikut bertanya-tanya  atas segala perubahan-perubahan yang dia lihat dan dia rasakan atas seorang Oeroeg, keluarganya, masyarakat dan tatanan sosial. Tidak ada satupun penuturan yang bisa menjelaskan secara pasti bagaimana isi kepala seorang Oeroeg. Yang ada hanya percobaan untuk menebak bersama.

Penuturan Hella dalam kisah ini juga seolah menggambarkan tidak semua orang Belanda adalah penjajah yang kejam dan sewenang-wenang. Anak-anak Belanda yang terlahir di Hindia Belanda pun bisa memiliki perasaan lokalitas yang sama. Hal ini digambarkan dengan tokoh “Aku” yang masih tetap menganggap bumi Parahyangan sebagai tanah kelahirannya. Selain itu sejumlah tokoh yang dimunculkan juga digambarkan sebagai orang-orang Eropa yang tidak begitu mempermasalahkan soal perbedaan status “penjajah” dan “yang dijajah”. Penggambaran perbedaan tetap masih ada, namun lebih cenderung dalam tataran “majikan” dan “pelayan”.

Kemunculan tokoh Gerard sang pemburu yang berpikiran terbuka, atau Lida, ibu asuh yang mau menerima Oeroeg dengan baik maupun keputusan ayah si “aku” untuk bersedia menyekolahkan Oeroeg memberikan kemungkinan gambaran baru mengenai masyarakat penjajah pada saat itu. Saya tidak berani menyimpulkan apakah penggambaran positif dari sisi pihak Belanda ini muncul karena sang penulis adalah orang Belanda atau bukan. Yang jelas, kisah ini memberi saya sebuah gambaran yang lebih manusiawi mengenai bangsa lain yang pernah ikut tinggal (bahkan mungkin sempat merasa menjadi bagian) di tanah air tercinta ini. Membayangkan ada sebuah tatanan kehidupan lain yang lebih manis selain perang melawan penjajah, penyiksaan pada pekerja rodi maupun peristiwa tanam paksa menjadi satu hal menarik yang bisa saya nikmati dari kisah klasik ini.

Walaupun pada akhirnya baik tokoh “Aku” maupun Oeroeg harus dipaksa untuk memilih jalan mereka masing-masing karena perkembangan situasi dan pemahaman terhadap identitas diri yang lebih dewasa, saya tetap bisa meraskan sebuah kehilangan yang dirasakan oleh si tokoh utama. Bagi saya pribadi Hella sudah berhasil memberikan sebuah kisah indah yang mampu memberikan gambaran objektif, tanpa menegatifkan salah satu sisi atau kepribadian salah satu bangsa, mengenai sebuah hubungan antara seorang anak belanda dengan seorang anak pribumi.

“Secara kiasan, tanah longsor berarti perubahan tak mendasar yang menimbun dan memusnahkan semua yang sebelumnya ada. Dan dalam konteks ini, Oeroeg berarti perpisahan dengan tanah kelahiranku.”
Read More..

Cinta Skeptis



Judul : Lovaskeptika
Pengarang : Dadan Erlangga
Penerbit : Masmedia Buana Pustaka
Halaman : 144

“Lovaskeptika adalah gabungan kata Love dan Skeptic – kunpulan cerpen yang tidak menghadirkan kisah cinta yang serta-merta diwarnai keindahan dan kebahagiaan , tetapi justru nuansa abu-abu dan kegamangan cinta. Dengan cerdas penulis mengajak kita untuk memandang cinta dari prespektif yang berbeda, kelam namun mencerahkan, pedih namun mendewasakan.” (Summary Lovaskeptika – Dadan Erlangga)

Pertama kali berkenalan dengan penulis buku kumpulan cerpen ini adalah di sebuah komunitas menulis bernama kemudian.com. Dari situ saya membaca sejumlah karya penulis, dan langsung memasukkan namanya sebagai salah satu user yang karyanya layak diikuti. Sejumlah point yang membuat saya menyukai tulisannya adalah gaya bahasanya yang manis dan romantis namun unik dan pemilihan plot yang tidak biasa untuk tema-tema cintanya. Maka ketika saya mendengar si penulis menerbitkan buku kumpulan cerpennya yang eprtama, saya segera memutuskan untuk mencari debutnya di toko buku terdekat

Lovaskeptika menyodorkan lima belas cerita pendek yang bertema sama, cinta yang gamang. Kelima belas kisah tersebut terjalin oleh benang merah plot hubungan dari para tokoh-tokohnya. Semua berjumlah tujuh tokoh. Penuturan mengalir romantis dan melankolis dengan permainan kata yang menggelitik. Ide dan ending cerita yang tidak biasa juga memberikan keasyikan sendiri bagi saya dalam menikmati buku kumpulan cerpen ini.

Namun secara garis besar, ada dua hal yang mengganggu saya dalam mengikuti semua kisah yang tertuang dalam kumpulan cerpen ini. Yang pertama adalah mengenai karakterisasi dari setiap tokoh yang terasa kurang kuat, membuat saya tidak bisa dengan segera mengenali siapa saja yang sedang bermain dalam cerita tersebut. Semua karakter nyaris terasa sama sehingga seolah saya hanya mengandalkan nama untuk membedakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita. Tidak ada kesan mendalam mengenai si A, si B, si C atau yang lain. Penokohan yang buram juga membuat saya sedikit kesulitan untuk menarik benang merah dari setiap cerita pendek. Pertanyaan macam “Si A tadi yang mana ya?” atau “B dan C kisah hubungannya di cerpen yang mana ya?” atau “D itu yang bagaimana?” jadi sering terlontar, membuat saya terpaksa harus kembali membuka-buka lembaran sebelumnya untuk mencari petunjuk.

Hal kedua adalah mengenai penyusunan timeline cerpen-cerpen tersebut yang sepertinya tidak dilakukan secara berurutan. Memang ini bukan sebuah novel sehingga kesinambungan antara bagian tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap mutlak. Namun bila sudah disebutkan bahwa semua cerpen ini saling berhubungan, akan lebih manis bila penyusunan dari tiap judulnya pun dilakukan secara sitematis dan sedemikian rupa sehingga, pembaca bisa merasa terlibat dalam sebuah grand plot atas roman yang dirangkai oleh masing-masing cerpen.

Tapi kedua hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah besar bila cerpen-cerpen dalam buku ini dinikmati secara terpisah. Saya pribadi menyukai cerpen yang terakhir, yang berjudul Ekapisme. Menurut saya cerpen ini terasa paling unik dan manis di antara cerpen lain, tidak hanya dari tema yang dipilih, namun juga dari permainan kata-katanya.

Bagi para pembaca yang menyukai tema cinta, ada baiknya melirik sejenak isi dari kumpulan cerpen ini.
Read More..

Sabtu, 05 Desember 2009

Dunia Kinanti



Judul Buku: Galaksi Kinanthi
Penulis: tasaro GK
Penerbit: Salamadani
Tebal buku: 432 halaman

“Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya, Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh….”

Kalimat di atas adalah penggalan dari paragraf pembukaan novel Galaksi Kinanthi. Saya tertarik dengan novel ini karena barisan endorsement yang saya baca di cover dan bagian belakangnya (metode yang juga saya terapkan saat memilih film-film bermutu). Nama-nama macam Dee Lestari, Ahmad Tohari, Helvy Tiana Rossa dan Gola Gong yang tidak diragukan lagi kualitasnya adalah beberapa penyumbang endorsement buku ini, dan semuanya berkata “well done.” Belum lagi deretan prestasi di bidang penulisan yang dimiliki si penulis makin membuat saya penasaran untuk membaca novel ini. Dan saya tahu saya tidak kecewa.

Galaksi Kinanthi bercerita tentang perjalanan hidup Kinanthi, seorang gadis yang lahir dan tumbuh di desa miskin di daerah Gunung Kidul. Dengan kepiawaiannya, penulis (yang notabene berasal dari daerah yang sama) berhasil menghidupkan sebuah nuansa kolot dan ndesani dari daerah terpencil tersebut. Seolah terisolasi dari gegap gempita globalisasi dan modernisasi, desa Kinanthi muncul dengan segala budaya animisme dinamisme yang telah beralkulturasi dengan Islam adat. Gaya hidup, gaya bicara dan sudut pandang warga yang terlokalisasi tergarap apik, mengingatkan kita pada komunitas kolot masyarakat pedesaan di Jawa.

Kinanthi, yang dikenal sebagai anak keluarga tidak beres dan miskin, bersahabat baik dengan Ajuj, anak rohis desa yang cukup terpandang. Kisah cinta yang tidak disetujui ala Romeo dan Juliet pun bergulir apik di antara lapisan gambaran mengenai sebuah kebudayaan tradisional yang ironis. Tasaro bukan hanya sekedar mengisahkan sebuah roman percintaan picisan semata, lebih dari itu, beliau berhasil menceritakan sebuah perjalanan hidup dari seorang perempuan, tidak hanya dari sisi percintaan, namun juga dari segi perjuangan hidup yang dramatis dan pergulatan batin yang menguras emosi.

Kisah hidup Kinanthi yang berikutnya harus terdampar sebagai TKW di Arab Saudi memberi cakrawala baru bagi pembacanya mengenai dunia TKW yang miris. Bagaimana para TKW Indonesia diperlakukan di sana, bagaimana pemerintah yang tidak begitu peduli (atau sudah terlalu repot) dengan masalah keluhan TKW atau mereka yang melarikan diri dijelaskan dengan gamblang. Belum lagi pihak-pihak ketiga yang sengaja memancing di air keruh bahkan terhadap saudara setanah airnya sendiri. Memang tidak semua kisah para TKW kita sedramatis kisah Kinanthi, tapi setidaknya Tasaro telah memberikan sebuah gambaran kehidupan saudara kita yang patut kita renungkan.

Kehidupan post-misery Kinanthi berikutnya juga bukan hal yang main-main. Penulis telah berhasil menunjukkan keahliannya dalam menggambarkan sebuah dunia modern di sebuah negara adikuasa. Tasaro menulisnya dengan proporsi yang tepat, tidak melebihkan namun cukup menggambarkan luasnya pengetahuan dan daya imajinasinya. Gaya bahasa asing, pembicaraan mengenai alien, agama, gaya hidup new yorkers, fenomena dunia publisher dan penggambaran kegiatan Prof. Kinanthi Hope sebagai salah satu dari penulis best seller dunia berhasil membuat saya terbang dari kesahajaan desa Gunung Kidul dan kekerasan hidup di negeri timur tengah ke suasana kesibukan dan gempita Park square dan Manhattan. Tidak ada kata lain yang bisa saya katakan selain "Menakjubkan!".

Bagian akhir juga terasa tidak main-main ketika Kinanthi kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan urusan pribadinya. Tasaro kembali memainkan emosi para pembaca dalam sebuah penyelesaian kisah cinta dan penantian cinta yang sangat panjang. Tiap paragraf terasa sarat dengan emosi. Alur cerita terangkai dengan perkembangan yang mengalir, membuat penasaran dan dramatis pada sejumlah klimak. Ending yang sulit ditebak membuat saya semakin suka dengan kisah ini. Tasaro berhasil menulis sebuah kisah cinta yang biasa menjadi begitu tidak biasa. Kemampuan ini yang selalu saya kagumi dari seorang penulis. Menulis kisah yang tidak biasa memang sulit, namun menulis kisah biasa menjadi tidak biasa adalah sesuatu yang jauh lebih sulit.

Terlepas dari semua nilai positif yang saya rasakan dalam novel ini, ada beberapa pertanyaan yang sedikit mengganggu pikiran saya. Apakah mungkin orang Indonesia bisa menjadi sehebat itu di negara seperti Amerika Serikat? Persidangan kasus Kinanthi juga menjado sebuah tanda Tanya lain, mungkinkah pemerintah Amerika menjatuhkan keputusan semanis itu bagis seorang TKW Indonesia macam Kinanthi? Penulis seolah menunjukkan secara tidak langsung bahwa masyarakat barat masih jauh lebih baik daripada timur. Lalu bagaimana dengan kelanjutan nasib sejumlah tokoh yang sempat muncul sebagai malaikat penyelamat Kinanthi. Memang Kinanthi berhasil bertemu lagi dengan malaikat penolongnya di Amerika. Tapi bagaimana dengan malaikat pelindungnya di timur tengah? Saya tidak menemukan penyelesaian kemunculan Borte yang seolah terkesan sengaja dimunculkan supaya ada pihak yang akan menolong Kinanthi di Kuwait dan membantunya menuju KBRI.

Saya tidak bermaksud mencari jawaban untuk semua pertanyaan itu. Toh hal itu menjadi hak bagi penulisnya dan tidak mengganggu kenikmatan membaca cerita ini. Galaksi Kinanthi memang lebih menitikberatkan pada kisah pencarian cinta seorang perempuan dan saya sudah cukup puas dengan apa yang saya baca. Bagi saya, novel ini layak disebut masterpiece dan dapat disejajarkan dengan novel cinta besar macam Supernova milik Dee Lestari atau novel-novel indah milik Habibbul Rahman.

Dengan kata lain, saya rekomendasikan total novel ini bagi mereka yang ingin mencari novel roman dengan mutu yang tidak diragukan lagi.

Read More..

Roman Historical series by Eri Kawamura



Salah satu manga yang saya ikuti sekarang (sampai daftar ke toko buku terdekat untuk disms setiap seri barunya keluar.. ^^) adalah manga roman-historical series buatan mangaka Eri Kawamura, terbitan m&c (semoga benar nama penerbitnya...)

Hal pertama yang membuat saya tertarik adalah genre ceritanya yang mencoba mengangkat kisah-kisah percintaan dengan latar belakang sejarah Jepang pada era shogun. Minimal bisa menambah pengetahuan saya mengenai nama-nama shogun yang terkenal di Jepang

dan peristiwa-peristiwa penting lainnya di masa pemerintahan mereka. Hal lain yang menarik dari komik-komik seri ini adalah art (gambar) yang cukup bagus (terutama bagi para penggemar komik shoujo). Detail kostum kimono atau bangunan jaman dulu juga cukup enak dilihat. Plot-plot cerita juga cukup bervariasi, ada yang bertema dongeng, tragedy, happy ending, intrik perjodohan dalam keluarga bangsawan dan sebagainya.

Komik-komik ini dapat dibaca secara terpisah karena isinya berupa kumpulan-kumpulan cerita (tipikal komik favorit saya yang tidak memerlukan waktu lama untuk menunggu-nunggu seri berikutnya ^^). Hanya satu hal yang sedikit mengangganggu kenikmatan saya dalam membaca komik-komik seri ini, yaitu masalah nama dan hubungan para tokohnya. Pada beberapa cerita terdapat tokoh-tokoh yang saling berhubungan. Itu membuat saya terpaksa harus balik ke cerita-cerita sebelumnya sekedar mendalami hubungan tersebut. Sebetulnya itu bukan maslah krusial karena kita masih bisa menikmati plot cerita tanpa harus mengingat apa hubungan tokoh di cerita A dengan tokoh di cerita B. Sayangnya rasa penasaran dan ingin tahu yang besar membuat saya tidak bisa tidak untuk kembali ke halaman berikutnya. Nama-nama tradisional Jepang juga bukan sesuatu yang mudah diingat (terutama oleh saya ^^). Butuh usaha tersendiri untuk tetap mengingat nama-nama para karakter dalam kepala.

Tapi terlepas dari itu semua, bagi yang suka komik sejarah dan kisah roman (dengan cerita yang agak njlimet) berartwork lumayan manis (terutama penggemar baju tradisional Jepang), komik seri sejarah buatan Eri Kawamura ini cukup seru untuk diikuti.

Bagian paling saya suka :

cerita-cerita yang berlatar belakang dongeng Jepang macam, legenda jembatan sungai Sanzu, kisah para peri hutan dan dewa-dewa yang menyamar jadi manusia.

Oh, ngomong-ngomong soal komik, hasil browsing barusan saya menemukan blog khusus review dan obrolan tenang komik (terutama yang beredar di Indonesia). Sayangnya ditulis dalam bahasa Inggris. Tapi lumayan juga untuk diikuti ..^^

http://www.huamulan03.blogspot.com


Selamat browsing ...

Read More..

Legenda Biola Merah



Awalnya saya tertarik buat berburu film ini karena terbius oleh legenda "The Red Violin" yang pernah saya dengar dari teman saya. Konon dulu, violis legendaris Nicolo Paganini (saya menyebutnya The Frankenstain violist ^_^) mempunyai sebuah biola merah yang luar biasa. Warna merah biola itu dibuat dari darah manusia, sedangkan senarnya dibuat dari usus manusia (kedengaran horor dan sangat tidak masuk akal, ya?). Konon beratus tahun kemudian, setelah berpindah ke banyak tangan, biola itu suka berbunyi sendiri tanpa dimainkan.


Ternyata film The Red Violin sendiri tidak sehoror yang saya bayangkan. Diceritakan The Red Violin adalah sebuah biola merah yang menjadi salah satu item lelang di sebuah acara lelang instrumen klasik di Montreal. Biola itu berusia lebih dari 3 abad. Sepanjang film kemudian terungkaplah sejarah panjang sang biola, melingkupi daratan Eropa dan Asia serta sebuah rahasia besar yang tersimpan di dalamnya.

Film dibuka dengan adegan antara Nicolo (sang pembuat Biola merah) dengan istrinya yang tengah hamil tua. Digambarkan istri Nicolo suka sekali bersenandung selama mengandung anaknya. Adegan berikutnya menggambarkan ketika pelayan Nicolo mencoba meramal masa depan istri Nicolo. Sampai di sini adegan kemudian berubah menjadi alur flash back antara masa depan dan masa lalu.

Pemotongan setting jaman terasa bagaikan sebuah dekon setting bagi saya. Ketika film menggambarkan kehidupan violis kecil Kaspar Weis dari daratan Eropa abad 18, lalu kembali pada potongan ramalan pelayan Nicolo, berlanjut ke kehidupan Fredrick Pope, violist Oxford abad 19, kembali lagi pada abad 16, kehidupan Xiang Pie di Shanghai pada abad 20 dan berakhir pada jaman sekarang, semuanya terikat dalam satu ramalan pelayan Nicolo.

Film ini sendiri berhasil meraih beberapa penghargaan (yang cukup untuk menggambarkan kualitas film tersebut). Bagi saya, film ini memang masih kurang menyentuh jika dibandingkan dengan The Pianist (Zpilman's true story). Tapi kisah perjalanan ini menjadi cukup menarik untuk diikuti karena ini adalah perjalanan sebuah violin. Lalu hubungan antara ramalan dan sejarah violin itu sendiri juga menjadi hal lain yang membuat saya tidak ingin berhenti menonton film ini dari awal sampai akhir (kisah yang unik karena penulis skenario meletakkan jawaban teka-teki itu di bagian akhir film). Nilai plus lainnya yang bisa diambil dari film ini tentu saja alunan suara string dan orkestra yang banyak terdapat di dalamnya (hiks.. hiks.. jadi pengen beli kaset soundtracknya deh.. T_T). Untuk itu saya kasih empat bintang buat film ini deh... ^_^

Read More..

Romantisme Anime boyslove



Film, kartun atau manga bertema Boyslove (hubungan cinta antara laki-laki) biasanya diidentikan dengan suatu hal yang menjijikan atau tabu di Indonesia. Walaupun begitu, tidak semua tema-tema boyslove tidak layak diikuti. Biasanya kekuatan plot cerita dan karakterisasi dijadikan alternative penulisnya atau pengarangnya untuk membuat sebuah kisah boyslove menjadi suatu kisah yang layak diikuti. Saya ambil contoh film Hollywood Brokeback Mountain, atau kisah pasangan Ruben-Dimas dalam novel Supernova milik Dee Lestari dan yang saya coba review di sini adalah kartun boyslove Jepang berjudul Junjo Romantica.


Junjo Romantica berkisah tentang kehidupan tiga pasangan gay yang secara tidak langsung saling berkaitan. Usami Akihiko (seorang penulis novel terkenal) dengan Takahashi Misaki (mahasiswa fresh graduate Mitsuhashi university, adik dari sahabat Akihiko) yang tinggal bersama. Kemudian Kamijou Hiroki (seorang asisten profesor jurusan sastra universitas Mitsuhashi, sahabat kecil Akihiko) dengan Kusama Nowaki (mahasiswa hubungan kemasyarakatan yang lalu beralih ke jurusan pediatric-dokter anak). Dan terakhir Profesor Miyagi (atasan Kamijou Hiroki) dengan Shinobu-chin (siswa senior SMA, mantan adik ipar Miyagi). Kartun seri ini bercerita tentang kehidupan mereka hingga pada akhirnya mereka saling menyadari kedalaman tingkat hubungan mereka dengan pasangan mereka masing-masing.

Tidak seperti cerita boyslove yang mengumbar adegan cinta berlebihan, Junjo Romantica lebih menekankan pada plot cerita dan penggambaran karakter yang menarik. Gambar yang menarik dan bentuk chibi yang menggemaskan tipikal komik Jepang membuat kartun ini enak untuk dinikmati. Plot cerita yang lebih menekankan pada adegan sehari-hari dan renungan-renungan pribadi khas drama Jepang membuat acara mengikuti film ini menjadi makin menarik.

Hal yang membuat saya menyukai film ini adalah tidak adanya kesan penilaian terhadap isu homoseksualitas itu sendiri. Plot dan masalah cerita berjalan dengan begitu mengalir. Saya bahkan bisa merefleksikan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata, bahkan dalam sebuah hubungan yang normal. Boyslove seolah hanya menjadi sebuah setting yang bersifat kebetulan membuat kartun ini tetap terasa manis dan indah untuk diikuti, terutama bagi mereka penggemar film-film drama cinta. Adegan sex tidak digambarkan secara jelas dan hanya mengambil sangat sedikit porsi cerita membuatnya lebih terasa sebagai bumbu yang pas untuk melezatkan nuansa romantis dalam film ini.

Untuk genre, saya lebih suka menempatkan kartun ini pada genre komedi cinta romantis. Ada teman saya yang menilai Junjo Romantica terasa terlalu feminim untuk kartun tema boyslove. Namun bagi saya pribadi, rasa boyslove yang tidak terlalu berat itulah yang justru membuat kartun ini masih bisa saya rekomendasikan bagi pecinta kartun yang tidak terbiasa dengan tema boyslove. Saya sendiri menempatkan kartun ini sebagai kartun drama cinta terfavorit, terlepas dari tema boyslove yang diusung.

Sayangnya, kartun ini termasuk kartun yang tidak mudah didapat mengingat tema minor yang dimiliki. Tapi bagi yang berminat untuk melihat, bisa mencari di youtube atau download langsung dari website khusus anime dan manga boyslove. Oh, ya...hal lain yang saya suka dari kartun ini adalah soundtracknya yang dijamin indaahhh..banget...

Pokoknya, bagi penggemar kartun Jepang romantis yang tidak keberatan dengan tema boyslove, Junjo Romantica benar-benar wajib diburu.....hehehehe ^^

Read More..